www.pendidikanpelatihan.com - Industri penyiaran Indonesia berkembang pesat pasca runtuhnya rezim Orde Baru tahun 1998. Jumlah stasiun televisi dan radio meningkat tajam seiring dengan semakin longgarnya prosedur perijinan. Jika tahun 1998 Indonesia hanya memiliki 6 stasiun televisi, kini kita memiliki lebih dari 31 stasiun televisi nasional dan lokal. Jumlah stasiun radio juga meningkat dari 700 stasiun radio tahun 1998 menjadi lebih dari 1.000 tahun 2002.

UU Penyiaran No 32/2002 semakin memperbesar peluang pendirian lembaga penyiaran baru. Jika dulu kita hanya mengenal lembaga penyiaran swasta dan pemerintah, regulasi baru memberi legitimasi bagi pendirianlembaga penyiaran swasta, publik dan komunitas. Namun pertumbuhanjumlah stasiun televisi dan radio tidak dibarengi dengan peningkatan kapasitas perguruan tinggi (PT) untuk memasok tenaga kerja siap pakai. Terjadi ketimpangan antara demand dan suplay dalam bursa tenaga kerja di bidang media dan penyiaran.



Beban Industri Televisi

Ketimpangan itu terlihat jelas dalam fakta-fakta pada proses rekrutmen tenaga kerja industri televisi berikut ini. Pertama, stasiun televisi sejauh ini banyak menyerap tenaga kerja dari media cetak dan radio. Ini terjadi karena pendidikan broadcasting belum bertumbuh-kembang ketika industri televisi berkembang sejak pertengahan 1980-an. Industri media cetak relatif tidak terpengaruh oleh fenomena ini karena jumlah tenaga kerja yang relatif besar. Namun abgi industri radio, perpindahan tenaga kerja ke industri televisi semakin memperburuk kondisi setelah kehadiran televisi swasta juga berdampak serius terhadap perolehan iklan industri radio.

Kedua, rekrutmen tenaga kerja industri televisi juga diwarnai aksi “bajak-membajak” tenaga kerja antar stasiun televisi. Frekuensi perpindahan tenaga kerja antar stasiun televisi cukup tinggi dalam semua level. Di satu sisi perpindahan praktisi televisi itu menunjukkan semakin baiknya daya tawar praktisi televisi terhadap pemilik televisi. Namun, di sisi lain mengindikasikan betapa terbatasnya SDM berkualitas dan siap pakai dalam industri penyiaran.Stasiun televisi yang relatif kecil selalu kelimpungan jika televisi-televisi baru menggoda SDM andalan mereka dengan tawaran gaji dan fasilitas menggiurkan.

Ketiga, untuk tenaga kerja yang fresh graduate, stasiun televisi merekrut tenaga kerja dengan latar-belakang pendidikan tinggi yang beragam. Bukan hanya lulusan jurusan Ilmu Komunikasi saja, namun juga pertanian, teknik, ekonomi, politik, hukum, IAIN dan lain-lain. Kebijakan ini diambil karena pada akhirnya semua pegawai baru tetap membutuhkan inhouse training dalam jangka waktu dan materi yang sama. Tanpa terkecuali mereka yang berpendidikan Ilmu Komunikasi, bahkan juga untuk mereka yang telah bekerja di media cetak atau radio.

Meminjam istilah Direktur Litbang SCTV, Iskandar Siahaan, “lulusan perguruan tinggi yang lolos rekrutmen pegawai baru bukan tenaga yang siap pakai, melainkan tenaga yang siap untuk dididik, untuk di-training.” Industri televisi harus mengeluarkan dana dan waktu untuk membuat mereka menjadi tenaga kerja siap pakai. Proses inhouse training dan praktek lapangan bagi tenaga baru di SCTV misalnya, berlangsung selama 6 bulan 3 minggu.

Problem Perguruan Tinggi

Apa ada dengan pendidikan tinggi di bidang komunikasi dalam hal ini?Thomas Hanitzsch, seorang kandidat PhD dari Universitas Ilmenau, Jerman,pernah meneliti pendidikan jurnalisme Indonesia. Hanitzsch membandingkan kurikulum, kualifikasi tenaga pengajar, nisbah mahasiswa dan dosen, serta faktor-faktor lain, khususnya pada 5 institusi : (1) Universitas Gadjah Mada; (2) Lembaga Pers Dokter Soetomo; (3) Institut Ilmu Sosial dan Politik; (4) Multi Media Training Center (MMTC); (5) Universitas Indonesia.

Ada beberapa kesimpulan yang didapat Hanitzsch. Pertama, pendidikan
jurnalisme kita masih dihambat oleh “kurikulum nasional.” Mahasiswa menghabiskan cukup banyak waktu untuk mata kuliah Pancasila, Kewiraan, dan semacamnya. Kebanyakan institusi pendidikan komunikasi juga menekankan kurikulum mereka pada pengetahuan “umum” komunikasi, sedangkan mata kuliah praktis di bidang jurnalisme hanya sedikit diajarkan.

Hanitzsch membawa kita pada masalah yang lebih serius : ketidakjelasan paradigma pendidikan komunikasi di Indonesia. Apakah akan mencetak tenaga-tenaga trampil di bidang penyiaran ataukah menghasilkan pakar komunikasi? Sebagian besar lembaga pendidikan komunikasi di Indonesia belum berhasil menjawab pertanyaan ini.

Mahasiswa program S I Ilmu Komunikasi biasanya kesulitan untuk merumuskan orientasinya karena dihadapkan pada kurikulum yang mengharuskan mereka mempelajari “semua hal”, dari yang paling filosofis hingga yang paling teknis. Mereka juga dihadapkan pada kendala keterbatasan literatur dan dosen pembimbing. Spesialisasi sudah dilakukan pada jenjang D 3, dimana mahasiswa diarahkan untuk spesifik mempelajariPublic Relation, Advertising Broadcasting, dan lain-lain. Namun keterbatasan sarana pendukung dan tenaga pengajar berkompetens membuat lulusan D 3 Komunikasi juga belum cakap benar ketika memasuki bursa tenaga kerja.

Dalam hal ini, kita perlu mencontoh apa yang terjadi Jerman, di manapendidikan komunikasi dari awal sudah dibagi menurut ke dalam domain praktis, empiris, dan konsepsi. Dalam domain praktis, mahasiswa disiapkan untuk menjadi profesional komunikasi. Dalam domain empiris, mahasiswa disiapkan menjadi seorang peneliti. Domain konsepsi menyiapkan mahasiswa menjadi ilmuwan atau akademisi. Dengan demikian sejak awal mahasiswa hanya berkutat dengan konsentrasi yang spesifik, sehingga output yang dihasilkan memiliki spesialisasi keahlian.

Pendidikan jurnalistik di Philipina juga patut dicontoh. Di sana, sejak semester awal mahasiswa sudah diarahkan untuk mengambil mata kuliah sesuai dengan spesialisasi yang ada. Apakah mau menjadi wartawan ekonomi, politik, iptek, olahraga dan lain-lain?

Kedua, lembaga pendidikan jurnalistik/komunikasi tak dilengkapi dengan teknologi yang memadai. Dari seluruh institusi pendidikan komunikasi di Indonesia, mungkin hanya MMTC Yogyakarta yang memiliki peralatan praktikum memadai untuk mahasiswa. Meskipun membutuhkan investasi tidak sedikit, pengadaan teknologi broadcasing sudah menjadi resiko PT yang berani membuka program Ilmu Komunikasi dan semacamnya. Setiap tahun, mereka berani menerima ratusan mahasiswa baru dengan “tarif masuk” cukup besar. Oleh karena itu, secara moral mereka mempunyai kewajiban untuk membangun fasilitas laboratorium dan teknologi yang dibutuhkan mahasiswa.

Ketiga, tak ada interaksi antara pendidikan jurnalisme dan industri media. Lembaga pendidikan jurnalistik mempunyai dunianya sendiri, sedangkanindustri media berada pada dunia yang lain. Belakangan, sesungguhnya banyak lembaga pendidikan yang coba melibatkan para praktisi penyiaran sebagai tenaga pengajar. Namun intensitasnya belum memadahi dan terkendala oleh keterbatasan teknologi.

Keempat, semua sekolah yang diteliti Hanitzsch mempunyai kelemahan di bidang tenaga pengajar. UGM misalnya, dari 18 dosen tetap, semuanya mempunyai gelar di bidang komunikasi, namun hanya tiga orang yang punya pengalaman di bidang jurnalisme. IISIP mempunyai 10 dosen tetap, namun hanya enam dosen yang pernah punya pengalaman di bidang jurnalisme.

Yang lebih memprihatinkan sebenarnya rasio dosen dan mahasiswa. Dengan jumlah dosen tetap 18 orang, Jurusan Ilmu komunikasi FISIPOL UGM memiliki rasio dosen: mahasiswa (1: 14). Sementara untuk Program D 3 Komunikasi memiliki dosen 26 orang dengan rasio (1:23). Namun rasio ini belum belum menunjukkan kondisi sebenarnya karena hampir seluruh dosen program S I juga dosen tetap di Program D 3. Hal yang sama terjadi di Jurusan Ilmu Komunikasi UI. Rasio dosen dan mahasiswa (1:3) tidak menggambarkan fakta sesungguhnya karena dari 45 dosen program S I rata-rata juga mengajar di program D 3, S 2, dan S 3.

Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Yogyakarta saat ini hanya memiliki 13 dosen tetap untuk mengasuh 900 mahasiswa. (1 : 69) Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah malang hanya memiliki 13 dosen tetap untuk mengasuh sekitar 1000 mahasiswa. (1:79). Ini fenomena umum di hampir semua institusi pendidikan Ilmu Komunikasi atau semacamnya. Dalam konteks ini, sulit mengharapkan sistem pengajaran dan bimbingan yang efektif. Apalagi di luar tugas mengajar, para dosen juga disibukkan kegiatan yang lain : riset, konsultan atau mengajar di tempat yang lain.

Akhirnya, kita perlu mempertanyakan ithikad PT untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Bidang studi ilmu komunikasi sedang booming. Dengan tingginya penerimaan mahasiswa baru pendidikan komunikasi, dengan besarnya tarif masuk yang diterapkan, mengapa PT tidak memprioritaskan penambahanjumlah tenaga pengajar? Mengapa PT tidak memperbaiki kelemahan di bidang teknologi penunjang (laboratorium, peralatan pratikum dll)? Daripadamemikirkan sarana penunjang kebutuhan mahasiswa, kebanyakan PT lebih tertarik untuk memperindah kampus dengan gedung-gedung megah dan fasilitas perkantoran.

Pada akhirnya publik yang dirugikan. Para orang-tua sudah mengeluarkan dana besar untuk pendidikan anak-anaknya, namun PT tidak cukup peduli dengan problem kualitas pendidikan. Agar anak-anak dapat bersaing dalam bursa tenaga kerja, para orang tua harus mengalokasikan dana tambahan untuk pendidikan lebih lanjut, kursus, training, magang dan lain-lain.

Guna melindungi kepentingan publik, perlu dirumuskan standard kelayakan pendidikan media dan penyiaran, mencakup masalah kurikulum, sarana dan prasarana, rasio dosen dan mahasiswa, serta keterlibatan pihak industri. Institusi pendidikan media dan penyiaran serta pihak-pihak terkait harus merumuskan orientasi pendidikan yang lebih jelas, khususnya untuk menjawab problem-problem pada lini industrial maupun lini public interest. Yang juga dibutuhkan adalah secara intensif mengikuti perkembangan pendidikan media dan penyiaran di negara-negara lain.



Sumber : Agus Sudibyo dan Ahmad Faisol, keduanya Peneliti ISAI Jakarta.

Posting Komentar

 
Top